Selasa, 03 Mei 2011

Islam agama damai dan toleran

“Dan orang-orang yang berjihad untuk mencari (keridaan) Kami, benar-benar akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami,” (QS Al-Ankabut [29]: 69).
Kata jihad termaktub sebanyak 41 kali dalam al-Quran dan memperlihatkan makna yang tidak tunggal. Secara etimologis, kata “jihad” berasal dari kata “juhd” atau “jahd” yang berarti kesungguhan, usaha yang sangat melelahkan. Sedangkan dalam terminologi Islam, jihad dimaknai sebagai perjuangan dengan mengerahkan seluruh potensi dan kemampuan manusia untuk sebuah tujuan-tujuan kemanusiaan.
Belakangan jihad mengalami penciutan makna. Oleh kalangan tertentu, makna Jihad hanya dipahami semata-mata perang dengan pedang atau mengangkat senjata terhadap orang kafir (musuh). Tidak selamanya peng¬gunaan kata jihad terhadap orang kafir dimaknai sebagai perang angkat senjata. Hal ini, misalnya bisa dilihat dalam tiga ayat berikut.
Pertama, “Maka janganlah kamu mengikuti orang-orang kafir, dan berjihadlah terhadap mereka dengannya (al-Quran) dengan jihad yang besar),” (QS. Al-Furqan [25]: 52). Kedua, “Sesungguh¬nya Tuhanmu (pelindung) bagi orang-orang yang berhijrah sesudah menderita cobaan, kemudian mereka berjihad dan bersabar. Sungguh, Tuhanmu setelah (kejadian itu) benar-benar Maha Peng¬ampun lagi Maha Penyayang),” (QS An-Nahl [16]: 110). Ketiga, “Dan orang-orang yang berjihad untuk mencari (keridaan) Kami, benar-benar akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami,” (QS Al-Ankabut [29]: 69). Selain itu, masih banyak lagi ayat-ayat lain yang menggunakan kata jihad dengan se¬luruh derivasinya.
Implementasi Jihad
Jihad memang bisa didefinisikan dan diimplementasikan secara berbeda-beda oleh umat Islam. Pertama, jihad pernah dipakai oleh penguasa untuk tujuan politik. Abu Bakar pernah memerangi orang-orang yang tidak membayar zakat karena merugikan perekonomian ‘negara’. Ayatullah Khomeini pernah menyatakan bahwa perang melawan Irak adalah bagian dari jihad fi sabilillah.
Kedua, jihad juga dipakai oleh sebagian masyarakat untuk melakukan kontrol ter¬hadap penguasa yang despotik dan korup. Abu Dzar al-Ghiffari pernah melakukan hal ini terhadap Usman bin Affan dan Muawi¬yah yang dianggap telah menyimpang dari ajaran yang benar karena diduga menimbun harta dan kekayaan.
Ketiga, jihad dipakai untuk menegakkan syariat Islam sekaligus mendirikan negara Islam, seperti Kartosuwiryo, Daud Beureueh, dan Kahar Muzakkar melalui gerakan DI/TII.
Keempat, ada yang menyatakan bahwa jihad adalah membunuh orang-orang kafir hingga mereka mau memeluk Islam. Apa yang dilakukan kelompok Osama bin Laden maupun Dr. Azhari, Noordin M Top dan kawan-kawannya dapat dikategorikan dalam kelompok ini.
Jihad model terakhirlah yang sekarang merebak. “Rumah-rumah tuhan” banyak hancur dan luluh-lantak akibat ulah manusia-manusia yang mengatasnamakan Tuhan. Tuhan dibawa-bawa dalam peperangan se¬bagai kunci legitimasi kepentingan pragmatis mereka. Padahal, sekarang yang diperlukan oleh kaum Muslim adalah masalah riil diri sendiri yang masih banyak dilanda kemiskin¬an, kelaparan, dan keterbelakangan pendidik¬an. Inilah medan jihad kaum Muslim sesung¬guhnya hari ini.
Karena itu, umat Islam sekarang memer¬lukan jihad yang membangun, bukan jihad yang menghancurkan; jihad yang menghidup¬kan, bukan jihad yang mematikan; jihad yang membahagiakan, bukan yang mencemaskan; jihad yang memberikan rasa damai, bukan yang mengobarkan perang dan kekerasan.
Dengan demikian, mendesak kiranya bagian kaum Muslim untuk melakukan redefinisi dan rekonstruksi atas konsep jihad yang mampu menuntut umat mengerahkan seluruh totalitas intelektual, spiritual, dan harta benda dan jiwanya untuk bersungguh-sungguh dalam mewujudkan kemanusiaan sejati demi sebuah kemaslahatan bersama yang lebih besar, tanpa harus lagi meng¬acung¬kan pedang sekaligus membumikan kekerasan.
Agama dan Kekerasan
Kekerasan bukanlah wajah asli Islam ataupun agama lain, ia hanyalah ‘sisi buram’ kesalahan umat beragama dalam memahami ajaran agamanya secara dangkal. Di sisi lain, telisik sejarah membuktikan bahwa kekeras¬an yang terjadi dengan mengatasnamakan agama kerapkali terjadi hanya untuk menu¬tupi motif lain (kepentingan dan kehormatan diri, keunggulan ekonomi, ketakutan dan naluri berkuasa) di luar agama.
Penting diingat bahwa setiap agama, apa pun itu, tidak mungkin lepas dari persetubuh¬an dengan lingkungan di luar dirinya. la selalu mengalami interaksi sosio-kultural, sosio-historis maupun sosio-politis dengan yang melingkupinya yang menyebabkan ada¬nya perbedaan dalam memahami dan menyi¬kapi ajaran suatu agama.
Seiring perkembangan zaman, di Indone¬sia mulai tumbuh sekelompok kecil kaum Muslim yang menafsirkan Islam secara teks¬tual (rigid), literal dan bahkan melampaui batas ortodoksi. Inilah yang sering disebut sebagai kelompok fundamentalistik, yang berupaya melakukan formalisasi agama dan untuk itu rela mengacungkan pedang atau¬pun kekerasan bersenjata.
Kemudian, di saat yang sama lahir pula golongan Islam yang mendefinisikan agama¬nya dengan sangat longgar dan cenderung meninggalkan garis demarkasi agama yang “paling luar” sekalipun. Kelompok ini sering disebut muslim liberal yang mereduksi tran¬sendensi agama atas nama kebebasan. Karak¬ter dan akar historis dari kedua model Islam itu banyak ditemukan dalam landscape perja¬lan¬an historis kebangsaan dan kenegaraan Indonesia.
Namun, di antara kecenderungan ekstrim itu, masih ada kelompok mayoritas yang selalu mengedepankan pemahaman keagama¬an yang moderat, yang menyandingkan kesa¬lehan ritual dengan kesalehan sosial, keya¬kinan beragama dengan toleransi terhadap pelbagai bentuk keragaman keyakinan dan budaya.
Pemahaman keagamaan ini selalu menge¬de¬pankan prinsip: tasamuh (toleransi), tawazun (keseimbangan), dan tawasuth (moderasi). Ketiga hal ini menjadi lahan persemaian bagi semua upaya pencapaian tujuan syariat Islam yang hakiki, yakni menjaga dan melindungi lima hal yang mendasar (maqashid as-syari’ah).
Pertama, menjaga ad-din (agama), dalam arti menghilangkan halangan bagi setiap individu untuk menjalankan dan menunaikan kewajiban agama mereka. Kedua, menjaga nafs (jiwa). Dalam pandangan Islam, setiap jiwa manusia menduduki tempat yang mulia. Allah Swt berfirman, “Dan sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam, Kami angkut mereka di daratan dan di lautan, Kami beri mereka rezki dari yang baik-baik dan Kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan makhluk yang telah Kami ciptakan” (QS al-Isra’ 17]: 70).
Ketiga, menjaga aql (pikiran). Dalam konteks ini, Islam melarang minuman kha¬mar karena ia dapat merusak kesehatan akal (waras). Keempat, menjaga mal (harta benda).  Karena itu, Islam melarang umatnya me¬makan sebagian harta orang lain dengan jalan batil. Dan kelima menjaga nasab atau keturunan dan martabat manusia.
Bersandar maqashid as-syari’ah, segala bentuk kekerasan yang muncul, baik itu dikarenakan dangkalnya pemahaman agama, fanatisme buta maupun primordialisme etnik dan kelompok yang bersandar pada nilai agama tertentu harus ditolak secara bersama-sama. Umat Islam sudah semestinya menjadi “titik temu” semua kelompok di Indonesia, baik lintas agama, lintas budaya, maupun lintas negara dan peradaban.
Tugas utama bagi umat Islam Indonesia adalah menunjukkan kepada seluruh dunia tentang universalitas ajaran Islam yang berwajah damai, inklusif, toleran, dan santun terhadap seluruh perbedaan. Karena itu, umat Islam harus mengampanyekan Islam “damai”, bukan mengampanyekan Islam “keras”? Wallâhu a’lamu bis shawâb.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar